Dana desa merupakan bentuk riil perhatian negara terhadap
keberadaan desa, dengan dana desa maka rekognisi terhadap hak asal usul serta
kewenangan lokal skala desa sudah dapat dilihat dan dinikmati oleh masyarakat
secara nyata.
Sejak tahun 2015 sampai 2017, pemerintah telah
menggelontorkan dana desa sebesar 127,74. Secara rinci, uang yang dikucurkan
pemerintah adalah 20,76 triliun pada tahun 2015, sebesar Rp 49,98 untuk tahun
2016, dan 2017 Rp 60 triliun.
Berdasarkan rilis berbagai portal berita, konon dana desa
yang dialokasikan pemerintah untuk tahun 2018 adalah sebesar 120 Triliun.
Besarnya anggaran dana desa ternyata berbanding lurus dengan banyaknya jumlah
penyelewengan dana desa itu sendiri.
Mengutip pernyataan Presiden Jokowi pada tahun 2017 lalu,
katanya dari sekitar 74.000 Desa, kurang lebih 900 kepala desa ditangkap karena
penyelewengan dana desa. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Indonesian Coruption Watch (ICW) yang
dilakukan pada 2016 hingga pertengahan 2017 menunjukkan bahwa 110 kasus korupsi
anggaran desa telah diproses oleh penegak hukum, dengan melibatkan 139 pelaku.
Ironisnya, 107 dari 139 pelaku tersebut adalah kepala desa, sisanya, 30 pelaku
sebagai perangkat desa, dan 2 pelaku lainnya adalah istri kepala desa.
Data tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa kepala desa
adalah pejabat yang mendominasi dalam kasus korupsi dana desa ini. Fakta
tersebut tentu sangat mengecewakan, mengingat kepala desa merupakan orang-orang
pilihan masyarakat dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa yang
memiliki peran dan fungsi sebagai penanggung jawab dalam pengelolaan dan
pelaksanaan dana desa.
Apabila diteliti lebih detail lagi, tugas kepala desa tidak
hanya berhenti pada pengelolaan dan pelaksanaan dana desa saja, sebab jika
merujuk pada Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014, Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Artinya di dalam hal ini
tugas substantif yang harus dilakukan oleh kepala desa adalah mengelola Dana
Desa sebaik mungkin untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Faktor-faktor
Ada beberapa hal yang diamini oleh berbagai pihak sebagai
faktor terjadinya korupsi dana desa ini. Tahun lalu, ICW mengidentifikasi empat
faktor yang memicu korupsi dana desa. Bagi penulis, dari keempat faktor yang
diungkapkan oleh ICW, ada dua faktor yang menarik untuk dikaji, yaitu minimnya
partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan, serta tingginya ongkos
politik.
Minimnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
pengawasan ini, lebih karena masyarakat terkesan nggak mau ribet terlibat dalam
mekanisme pengawasan pengelolaan dana desa. Sehingga masyarakat lebih nyaman
dengan sikap yang cenderung pasif dan legowo dengan berbagai kebijakan selagi
tidak memberatkan dan menekan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dengan tingginya biaya politik, ini merupakan
persoalan klasik. Pada kenyataannya, ongkos politik tidak hanya berlaku bagi bakal
calon anggota dewan atau pemimpin daerah. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa
jadi kepala desa pun membutuhkan ongkos kampanye yang relatif mahal.
Ongkos yang mahal inilah kemudian mendorong terbentuknya
motif mengembalikan defisit anggaran melalui proses korupsi setelah berhasil
menjabat. Sekaitan dengan itu, meningkatnya anggaran desa juga jadi pemicu
meningkat drastisnya minat dari berbagai pihak untuk mencalonkan diri sebagai
kepala desa meski tanpa komitmen untuk membangun desa.
Langkah Alternatif
Sosialisasi bisa menjadi langkah alternatif. Sosialisasi
mengenai dana desa oleh pemerintah terkait perlu diintensifkan untuk merangsang
keterlibatan masyarakat. Penulis meyakini, minimnya keterlibatan masyarakat
merupakan akibat dari ketidaktahuan masyarakat itu sendiri, untuk kemudian
ketidaktahuan masyarakat ini dimanfaatkan oleh oknum pegawai desa untuk
melakukan penyelewengan dana desa.
Selain sosialisasi kepada masyarakat, pemerintah terkait pun
harus menekankan agar Pasal 26 ayat 4 huruf f UU. No. 6 tahun 2014, perihal
kewajiban kepala desa untuk melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang
akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas
dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, benar-benar terealisasi.
Apabila langkah alternatif sebagaimana disebutkan masih
belum dapat mengantisipasi penyelewengan dana desa, maka pemerintah dapat
melakukan cara lain, yakni bekerjasama dengan lembaga independen untuk
melaksanakan pengawasa dan pihak auditor publik untuk mengaudit penggunaan dana
desa.
Selain itu, dalam proses pencairan dana desa, pemerintah
harus menerapakan prinsip kehati-hatian (prudent)
agar dana desa benar-benar digunakan dengan baik dan tidak menjadi target bagi
para pelaku tindak pidana korupsi. Prinsip kehati-hatian ini menjadi sangat
beralasan. Pemerintah harus yakin bahwa desa penerima dana harus sudah siap
dari aspek tata kelola, prioritas pemanfaatan, hingga keterbukaan aparatur
desa.
Penulis: Dede Kurnia (Mahasiswa Pascasarjana di UPI Bandung. Bergiat di Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Priangan Timur (LPMP) dan Komunitas RSBS)
0 komentar:
Post a Comment