Salu atau Sungai Paja’an, merupakan salah satu destinasi
wisata unggulan Dengan disuguhi air yang segar, taman yang indah dan
pemandangan yang memanjakan mata, sehingga membuat para pengunjung ingin
berlama-lama di kawasan ini. Akan tetapi, mungkin belum banyak yang mengetahui
sejarah akan peristiwa dan penamaan sungai Salu Paja’an yang terletak di desa
Batetangnga, Kec. Binuang, Kab. Polewali Mandar ini?
Tulisan ini akan mengungkap sedikit tentang sejarah mengapa
aliran sungai yang ada di dusun Rappoang dinamai dengan Salu Paja’an serta
kaitannya dengan kampung Rappoang. Berikut ulasannya.
Sejarah Penamaan
Kampung Rappoang
Sejarah dan penamaan Salu Paja’an, tidak bisa dipisahkan
dari sejarah panjang kampung Rappoang. Dimana kampung Rappoang ini, sekalipun
terdengar familiar pada masyarakat desa Batetangnga akan tetapi, sampai hari
ini ketika bicara kampung Rappoang dan bertanya akan sejarahnya, maka kita akan
menemukan suatu fakta bahwa, mayoritas masyarakat desa Batetangnga kurang
mengetahui kecuali orang-orang tua yang kini juga tinggal beberapa orang saja.
Dengan demikian, kurangnya pengetahuan masyarakat akan
sejarah dan penamaan kampung desa Batetangnga, maka kita telah berada di suatu
titik penghujung, Dimana masyarakat desa Batetangnga akan kehilangan suatu
identitas sejarah yang apabila diabaikan, maka generasi mendatang hanya tahu
nama saja, tanpa mengetahui sejarah penamaannya.
Cerita tentang kampung Rappoang berawal dari Tomakaka Biru
yang memutuskan untuk menikahkan anak perempuannya dengan seorang anak
laki-laki Tomakaka Penanian. Dengan ini, maka Tomakaka Biru dengan Tomakaka
Penanian menjadi “besan” yang membuat anak laki-laki Tomakaka Penanian harus
tinggal bersama dengan Tomakaka Biru beserta istrinya di wilayah kampung Biru
yang berada di sebelah Barat sungai Binuang.
Suatu ketika, Tomakaka Biru beranjak tua dan tidak mampu
lagi menjalankan tugasnya sebagai Tomakaka Biru diwariskanlah jabatannya kepada
generasi penerusnya. Dengan tujuan untuk melanjutkan amanah yang diembannya
sebagai Tomakaka Biru namun, anak kandung Tomakaka Biru ini tidak ada yang
dirasa cocok untuk mewarisi jabatannya sebagai Tomakaka. Anak yang digadang-gadang
menjadi penggantinya, mengalami kecacatan pisik (tuna rungu) sehingga, Tomakaka
Biru memilih menantunya dari jalur Tomakaka Penanian.
Dengan terpilihnya menantu Tomakaka Biru dari jalur anak
Tomakaka Penanian menjadi Tomakaka Biru selanjutnya membuat anak Tomakaka Biru
yang bernama Tonggo sangat marah “mengapa harus memilih orang lain menjadi
Tomakaka kalo anak sendiri masih ada” Tomakaka Biru mengungkap alasannya
mengapa ia memilih menantu dari pada anak sendiri, karena ia melihat adanya kecacatan
yang dimiliki oleh putranya (Tonggo) sehingga membuat Tomakaka menjadi ragu
akan kepemimpinannya kelak ketika ia menjabat sebagai Tomakaka Biru.
Tomakaka Biru masih tetap pada keputusannya dan putranya
(Tonggo) tidak bisa menerima sehingga memutuskan meninggalkan kampung Biru
secara diam-diam tanpa pamit kepada Tomakaka Biru menuju suatu lembah yang
sekarang dikenal sebagai kampung Rappoang.
Merasa kesal, Tonggo ingin membuktikan kepada ayahnya
(Tomakaka Biru) bahwa kecacatan buakanlah suatu penghalang pantas atau tidaknya
menjadi seorang Tomakaka. Maka Tonggo besikukuh tidak mau pulang dan komitmen
terhadap pendiriannya, bahwa ia tidak akan pernah kembali selama yang diangkat
menjadi Tomakaka Biru bukan dia. Sedangkan ayahnya juga merasa bahwa keputusan
yang ia ambil adalah keputusan yang benar dan yang terbaik untuk masa depan
anaknya dan kampung Biru kedepannya.
Setelah beberapa pekan berlalu, kekhawatiran dan kecemasan
Tomakaka Biru kepada putranya sudah mulai dirasakan. Maka ia pun mengutus seseorang
untuk mengikuti dan mencari keberadaan tempat tinggal Tonggo dan rombongannya.
Ketika orang yang telah diutus telah kembali, maka Tomakaka Biru pun bertanya
dengan bahasanya; “Imbomo tu nasingi nana lako rappo’o?” (dimanakah letak
keberadaan anak itu singga?) utusan menjawab, “ia berada disanah” sambil
menunjuk kearah selatan kampung Biru, tepatnya di lembah antara gunung Lumalan
dan gunung Pusuk yang sekarang kawasan ini desebut dengan Lan’ja.
Kukuhnya Tonggo dalam pendiriannya, Tomakaka Biru memutuskan
untuk mengangkat Tonggo menjadi Tomakaka, namun bukan di kampung Biru. Tonggo
diangkat menjadi Tomakaka di wilayah dimana Ia sekarang menetap (rappo).
pengangkatan ini sebagai bentuk hadiah dan obat, agar ketengangan antara orang
tua dengan anak dapat diselesaikan. Selain pengangkatan Tomakaka, mereka juga
memberi nama kampung ini sebagai Rappoang berdasarkan persinggahan mereka untuk
lari dari kampung Biru.
Sejarah Penamaan Salu
Paja’an
Wilayah Rappoang dulu kala merupakan wilayah Biru sebelumnya
tetapi, wilayah Biru dibagi dua, yaitu wilayah Biru itu sendiri dengan Rappoang
dimana batas yang ditentukan oleh Tomakaka Biru yaitu aliran sungai Salu Liang.
Akan tetapi, wilayah Rappoang dengan batas Salu Liang dirasah oleh Tomakaka
Rappoang (Tonggo) sangatlah sempit, sementara wilayah Biru masih sangat luas.
Berdasarkan kondisi ini, maka batas Rappoang di Salu Liang di pindahkan ke Salu
Paja’an dengan komitmen Tomakaka Biru bahwa batas ini tidak akan berpindah lagi
sampai kapanpun atau bahasa lokalnya “Paja’mi Lette”.
Dengan komitmen dari Tomakaka Biru bahwa “Paja’mi Lette”
atau tidak akan pindah lagi batas kampung ini, maka sungai inipun diberi nama
Salu Paja’an yang bermakna komitmen dari seorang Tomakaka kepada anaknya yang
menginginkan pelebaran suatu wilayah kekuasaan karena wilayah yang ia miliki
pada saat itu sangatlah sempit sementara wilayah yang dimiliki oleh ayahnya
sangatlah luas.
Salu Paja’an sejak terbentuknya desa Batetangnga, merupakan
batas dusun Rappoang yang kemudian melakukan pemekaran dengan membentuk dusun
Lumalan, sehingga Salu Paja’an yang tadinya merupakan batas dari dusun Rappoang
menjadi batas dari dusun Lumalan. Tetapi sekalipun demikian, sejarah akan Salu
Paja’an dengan kampung Rappoang tidak bisa dipisahkan, karena ini merupakan
bagian dari sejarah desa Batetangnga yang sangat penting dan menjadi warisan
generasi muda yang akan datang.
Catatan: Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di Pattae.com
Penulis: Aminuddin Lahami
(Mahasiswa Pacasarjana UIN Alauddin Makassar dan pernah menjadi pengurus KKPMB)
0 komentar:
Post a Comment