Pandangan umum masyarakat indonesia
sekarang ini bahwa untuk mengangkat derajat dan status sosial dalam
bermasyarakat, mencerdaskan kehidupan
bangsa (sesuai dengan amanat UUD 1945), dan untuk menciptakan sumber daya
manusia yang bermutu sehingga dapat diandalkan dalam memajukan bangsa harus
dengan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud tentunya pendidikan yang dapat di
akses oleh seluruh anak bangsa dan berkualitas pula. Namun yang menjadi
permasalahan, pendidikan berkualitas sekarang itu mahal. Yang bisa merasakan pendidikan
hanya segelintir orang. Hanya orang-orang yang mempunyai uang banyak atau yang
berkantong tebal dalam artian orang kaya. Ini adalah bentuk diskriminasi antara
si kaya dan si miskin dalam kanca pendidikan sekarang ini.
Padahal, yang termaktub dalam
Undang-Undang dasar 1945, pasal 31 ayat 2 “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Undang-undang tersebut juga dipertegas didalam Undang-Undang nomor 20 tentang
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) pasal 46 yang mengatakan bahwa
“Pendanaan pendidikan menjadi tanggung
jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.” Hal ini
menandakan bahwa pendanaan untuk sekolah dan biaya pendidikan tidak hanya
dibebankan kepada orang tua saja tetapi juga menjadi tanggung jawab dan
kewajiban dari pemerintah. Didalam undang-undang nomor 20/ 2003, pasal 34 ayat 2
tentang Sisdiknas juga menyatakan bahwa “pemerintah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya.” Namun, sepertinya fakta di lapangan berkata lain.
Berdasarkan data yang diperoleh dari
BPS (Badan Pusat Statistik) mengenai sensus penduduk Indonesia tahun 2013,
tercatat bahwa penduduk usia 7-12 tahun (SD) sebanyak 27.840.900 jiwa dan
sebanyak 94,89% jiwa yang dapat mengenyam bangku sekolah dasar. Untuk penduduk
usia 13-15 tahun (SMP) terdapat 13.408.650 jiwa dan sebanyak 84,24% yang bisa
mengenyam bangku SMP. Masih sama dengan kasus sebelumnya yaitu pada penduduk
usia 16-18 tahun (SMA) terdapat 12.455.244 jiwa dan hanya 52,78% jiwa yang bisa
merasakan bangku SMA. Kemudian kasus terakhir yang dialami penduduk usia 19-24
tahun (kuliah) terdapat 23.902.077 jiwa dengan daya resap ke Perguruan Tinggi
hanya sebesar 15,09% jiwa. Berdasarkan data diatas membuktikan bahwa masih
kurangnya angka partisifasi atas dunia pendidikan khususnya tingkat SMA dan
Perguruan tinggi.
Bukannya mereka tidak mau mengenyam
pendidikan, namun karena pendidikan itu sendiri sehingga menyebabkan angka
putus sekolah semakin banyak dan akses keperguruan
tinggi semakin sedikit. Jangankan mereka mau sekolah atau lanjut ke perguruan
tinggi makan sehari-sehari saja susah. Ini adalah bukti kelalaian tanggung
jawab pemerintah atas pendidikan dan tidak konsisten terhadap amanat UUD 1945
“mencerdaskan kehidupan bangsa”.
WORLD TRADE ORGANIZATION
(WTO) DALAM LIBERALISASI PENDIDIKAN
World Trade Organization (WTO)
adalah organisasi perdagangan dunia yang mengikat bagi seluruh Negara
anggotanya dalam aspek perdangan yang menjalankan sistem liberalisasinya bukan
hanya pada sector perdagangan. Tapi juga
pada sector publik yang di tarik kedalam sektor jasa atau pendidikan sehingga dapat di
perdagangkan. Yang jelasnya dapat menghasilkan profit yang besar, sektor apapun
itu pasti akan dimasukinya. Namun pembahasan utama kali ini adalah mengenai
liberalisasi pada sektor pendidikan.
WTO telah menetapkan pendidikan sebagai salah
satu sektor jasa yang didampingi kesehatan dan teknologi, informasi dan
komunikasi yang tentunya lebih menjanjikan dalam meraup keuntungan yang lebih
besar didalam kesepakatan Agreement on Tariffs and Service (GATS-WTO). Pada
tahun 1980-an, liberalisasi pendidikan telah memberikan konstribusi yang begitu besar tehadap pendapatan domestic
bruto (PDB) terhadap negara-negara maju diantaranya Amerika Serikat, Inggris,
dan Australia (sumber data dari artikel kompas : World Trade Organization (WTO) dan Skema Liberalisasi Pendidikan Tinggi
di Indonesia. Edisi 2013). Di tahun 2000 Amerika dalam ekspor jasa
pendidikan mencapai US $ 14 milyar atau sekitar
Rp. 126 trilyun. Dari ekspor jasa pendidikan di Inggris pendapatan mencapai
sekitar 4 persen dari penerimaan sector jasa negaranya. kemudian, ekspor jasa
pendidikan dan pelatihan Australia yang menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada
tahun 1993 (Eko Prasetyo, 2006, orang
miskin dilarang sekolah. Kapitalisme pendidikan. Hal. 31). Itulah alasan
mengapa ketiga negara maju tersebut meliberalisasi sektor jasa atau pendidikan
melui WTO. Pemerintah Indonesia yang tergabung sebagai negara penyokong
berdirinya WTO kemudian dengan senang hati meratifikasi seluruh kibijakan dalam
WTO yang melahirkan undang-undang No.7 Tahun 1994, pada tanggal 2 Nopember 1994,
mengenai pelegalan “Agreement Establishing the World Trade Organization”. Berselang
6 tahun kemudian di tahun 2001 pemerintah Indonesia melakukan kesepakatan
bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS)
yakni meratifikasi kembali kesepakatan internasional dari organisasi
perdagangan dunia (WTO), yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu dari 12
komoditas (barang dagangan). Dengan kesepakatan tersebut para kapitalis bebas
menanamkan modalnya kedalam sektor pendidikan terutama pada pedidikan perguruan
tinggi. Kesepakatan inilah yang menjadi asal usul lahirnya berbagai kebijakan
undang-undang di sektor pendidikan yang sama sekali tidak berpihak dan jauh
dari kebutuhan rakyat indonesia, seperti uu sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dicabut
oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2010. Pada tanggal 13 juli 2012 telah disahkannya
undang-undang perguruan tinggi (UU PT) oleh DPR-RI kemudian diterapkannya
sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) semakin mensahkan dan melegitimasi
adanya komersialisasi pendidikan tinggi, dimana lepasnya tanggung jawab pemerintah
dan negara atas tanggung jawab penyelengaraan
pendidikan perguruan tinggi sehingga menyebabkan rendahnya akses
keperguruan tinggi karena telah menjadi barang mewah yang tak mampu di nikmati
oleh rakyat miskin.
WTO yang termasuk penyokong
kapitalisme, imperialisme menguasai berbagai negara yang bergantung di seluruh
dunia yang melahirkan penderitaan dan kemiskinan yang tak berkesudahan terhadap
rakyat. WTO pencetus Liberalisasi pendidikan telah menjadi mesin eksploitasi
terhadap rakyat dalam aspek ekonomi yang menyebabkan semakin tak terelakkan
mahalnya pendidikan yang harus di tanggung oleh rakyat dan mengubah tujuan
pendidikan melalui kurikulum sampah yang tidak menjamin kemajuan kebudayaan dan
kesejahteraan rakyak. Pendidikan telah di jadikan mesin pencetak tenaga kerja
yang murah dengan skill dan pengetahuan yang rendah untuk memenuhi kepentingan
pasar dan para kapitalis yang kemudian di eksploitasi, dihisap dan ditindas.
KOMERSIALISASI GAYA BARU DALAM
BENTUK UANG KULIAH TUNGGAL (UKT)
Di tahun 2013 semua
perguruan tinggi Negri wajib melaksanakan kebijakan baru dari Direktorat
Perguruan tinggi, yaitu uang kuliah tunggal (UKT), yang menurut pemikiran saya
adalah bentuk komersialisasi gaya baru
pada perguruan tinggi yang tak lepas dari kebijakan WTO dalam meliberalisasi
sektor jasa/pandidikan. Berakar pada Undang - Undang No 12 Tahun 2012 Pasal 88
dan PERMENDIKBUD No 55 Tahun 2013 , sistem ini mulai diterapkan pada tahun
ajaran / semester ini yang kemudian pada tahun ini menumbulkan berbagai polemik
yang secara langsung memberat kan calon mahasiswa yang ingin masuk keperguruan
tinggi.
Banyak keluha kesah dari berbagai
mahasiswa dan orang tua mahasiswa atas kebijakan UKT ini. Karena apa yang di
dapatkan mulai fasilitas, almamater, praktikum dll. Tidak sesuai dengan apa
yang mereka harapkan dari besaran UKT yang mereka telah bayar.
Adapun dasar hukum UKT yaitu Surat Edaran Dirjen Dikti No.
305/E/T/2012 tertanggal 21 Feb 2012
tentang Larangan Menaikkan Tarif Uang Kuliah, Surat Edaran Dirjen Dikti nomor
488/E/T/2012 tanggal 21 Maret 2012 tentang Tarif Uang Kuliah SPP di Perguruan
Tinggi, Surat Edaran Dirjen Dikti 274/E/T/2012 bertanggal 16 Februari 2012
tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dirjen Dikti No. 21/E/T/2012 tanggal
4 Januari 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal. Terakhir, Dikti mengeluarkan Surat
Edaran No. 97/E/KU/2013 tentang Uang Kuliah Tunggal yang berisi Permintaan
Dirjen Dikti kepada Pimpinan PTN untuk menghapus uang pangkal dan melaksanakan
Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun
akademik 2013/2014. Kemudian dalam Rapat antara Direktorat Perguruan Tinggi
(Ditjen Dikti) dengan para rektor sejumlah PTN yang diselenggarakan di Bandung,
2 Juni 2012 untuk membahas penerimaan mahasiswa baru tahun 2013, Dikti kembali
menghimbau PTN untuk melaksanakan kebijakan UKT dan mekanisme pemberian BOPTN.
Dasar penentuan besaran UKT ada 5
tingkat yang di terapkan oleh setiap perguruan tinggi negri yaitu dari UKT yang tingkatan rendah mahasiswa membayar UKT
terendah (Rp 0) sampai pada jutaan rupiah atau yang tertinggi. Dari setiap PTN
wajib mengambil mahasiswa tidak mampu untuk membayar UKT tingkat 1 sedikitnya
lima persen. UKT di hitung dari besaran biaya pengeluaran penyelenggaraan tri
dharma oleh perguruan tinggi. Mulai dari gaji staf, pegawai, honorer dan dosen.
Termasuk danah yang di peroleh di luar Perguruan tinggi dan direktorat
perguruan tinggi juga di hitung. Dari hasil perhitungan tersebut di jadikan
dasar penentuan besaran UKT yang akan di tanggung oleh mahasiswa. Dari
perhitungan persentase dari mahasiswa yang akan menanggung UKT yang ada 5
tingkatan tersebut.
Banyak maksim yang di lontarkan
pihak perguruan tinggi yang mengelabui masyarakat bahwa setelah di berlakukan
UKT maka tidak ada lagi beban yang akan di tanggung oleh mahasiswa dan
fasilitas prasarana kampus menjadi baik. Ini adalah maksim yang sesat karena
tidak sesuai dengan realitas yang ada. Contohnya di Universitas Negri Makasar,
fakultas Teknik, prodi PTIK, banyak mahasiswa baru yang mengelu terhadap
fasisilitas yang didapatkan, mulai dari kursi yang kurang dalam setiap kelas
sehingga terkadang sebagian ada yang melantai saat proses mata kuliah berjalan,
almamater dan baju praktikum tak kunjung di dapatkan oleh mahasiswa, juga
proyektor yang mendukung keefektivan proses belajar mengajar sangat minim di
tambah ruangan yang begitu sempit, dan masih banyak lagi yang dikeluhkan mahasiswa.
Padahal PTIK adalah jurusan yang paling mahal dan beragreditasi yang tinggi di
UNM. Seharusnya dengan UKT yang tinggi di ikuti pula dengan fasilitas yang
memadai terhadap mahasiswa agar mereka mendapatkan apa yang seharusnya mereka
dapatkan dengan baik.
Dalam 5 tingkatan UKT ternyata belum
mampu untuk direalisasikan dalam bentuk praktek karena masih banyak ketimpangan
dan kecurangan dalam mekanisme kerjanya sehingga merugikan masyarakat banyak
yang menjadi keluh kesah akibat biaya kuliah naik begitu drastis. Disinyalir
bahwa biaya UKT lebih tinggi di banding perguruan tinggi swasta karena ketika
dibandingkan antara perguruan tinggi negri dengan perguruan tinggi swasta yang
sama-sama beragreditasi A, ternyata swasta lebih murah dua juta persemesternya.
Kemudian di swasta biaya kuliah bisa di cicil, dan ini terjadi di banyak daerah
di indonesia. Inilah dasar pijakan kita bahwa UKT hanya bentuk komersialisasi
gaya baru di perguruan tinggi negri.
Intinya UKT adalah yang kaya mensubsidi yang
miskin. Sehingga peran dan tanggung jawab pemerintah semakin jauh dari
pendidikan dan hanya sebatas pasilitator saja. inilah bentuk privatisasi
pendidikan yang melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan
dah perlahan memberikannya tatakelola terhadap pihak swasta yang merupakan
kebijakan dari General Agrement Tariffs and Service WTO dalam meliberalisasi
sektor jasa yang tentunya diarahkan ke pasar sehingga pendidikan bukanlah lagi
mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi di jadikan sebagai industri jasa atau
ladang eksploitasi bagi kelas borjuasi.
Lalu pendidikan yang seperti apa sebenarnya yang
harus di dapatkan masyarakat luas ???
PENDIDIKAN TERJANGKAU,
BERKULITAS, ILMIAH, DEMOKRATIS DAN BERVISI KERAKYATAN
Jika sistem pendidikan di indonesia
terus seperti ini, maka masa depan anak bangsa dan adik-adik kita semakin
suram. Kita sebagai mahasiswa yang notabene adalah agen perubah bersama dengan
elemen rakyat lainnya seperti Buruh, tani, kaum miskin kota dan seluruh yang
merakan ketertindasan. Harus membongkar realita yang begitu inheren dan penuh
dengan tipuh muslihat pada sistem pendidikan kita, menyatukan dan
mengkonsilidasikan kekuatan dalam satu komitmen bersama yaitu perubahan
mendasar yang seradikal mungkin dan benar-benar berpihak pada rakyat banyak,
bukan segelintir orang seperti sekarang ini. Yang pastinya harus dengan kekutan
yang begitu massif dan terorganisir dengan baik. Maka dengan bersama kita
sangat butuh alternatif bagaimana mewujudkan demokratisasi yang dimulai dari
kampus kita masing-masing dan mengembalikan hakekat pendidikan yang
sesungguhnya. Pendidikan yang mampu memanusiakan manusia seperti halnya apa
yang pernah di katakan oleh Faulo Freire “pendidikan adalah proses penyadaran
akan realitas yang ada di lingkungan alam dan masyarakat” dan sesuai dengan
amanat UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dengan ini di butuhkan
sistesa pendidikan yaitu :
Terjangkau
Terjangkau
dalam artian, secara ekonomi dan mampu di akses oleh seluruh anak bangsa tanpa
diskriminasi ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama.
Berkualitas
Berkualitas
dalam artian, mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkuitas pula yang
dapat diandalkan dalam memajukan peradaban bangsa yang terbelakang ini.
Ilmiah
Ilmiah
dalam artian, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan serta terbuka bagi pradigma
kritis.
Demokratis
Demokratis
dalam artian, secara metode pembelajaran dimana adanya kebebasan mengembangkan
potensi pada diri sendiri dan pengambilan kebijakan
Bervisi kerakyatan
Bervisi
kerakyatan dalam artian pendidikan bertujun untuk memecahkan permasalahan
rakyat dengan berpihak kepada rakyat dan beroposisi terhadap para penindas.
Kita sebagai mahasiswa yang tak
terpisahkan dari rakyat. Lebih bernasib baik dan mempunyai banyak waktu luang
dalam belajar dan mengembangkan pengetahuan kita di banding Buruh, tani dan
kaum miskin kota. Seharusnya kita meluangkan waktu lebih kita dalam perjuangan
terorganisir agar adik-adik kita dan rakyak luas kedepannya bisa menikmati
pendidikan yang selama ini diabaikan pemerintah yang berpihak dan menghamba
pada kapitalisme global atau imperialisme.
(Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2014 dan pernah di muat pada tabloid "Suara Kita" pada tahun yang sama. mungkin tulisan ini juga relevansinya sudah berkurang terkait regulasi pendidikan yang hampir tiap tahun berubah, tetapi esensinya masih cukup relevan).
Penulis: Syaharuddin Zaruk
(Mahasiswa Teknik Informatika dan Komputer di UNM, dan Pernah menjadi pengurus KKPMB periode 2014 s.d 2015)
0 komentar:
Post a Comment