[Cerpen] Astuti


Perempuan itu bernama Astuti, ia memiliki wajah yang cantik, bahkan bisa dikatakan teramat cantik. Aku melihat Astuti pertama kali di Rumah Sakit, ia sedang berbaring menghadap ke jendela, matanya sembab.

“Ada seseorang yang terus ia tunggu kedatangannya…”

Kudengar ada yang berkata.

“Siapa?”

Sebuah suara lagi.

“Kekasihnya… penduduk pribumi seperti dirinya.”

“Ah” Aku hendak menyela, ingin kutanyakan apa yang membuat Astuti terbaring di Rumah Sakit, tapi pemilik suara-suara itu pergi.

Astuti masih menangis, ia tak mau menyentuh makanan.

Biar kujelaskan, saat ini tahun 1943. Astuti yang jelita kembang desa dinikahi prajurit Jepang lantaran teramat cintanya Sang prajurit sejak pandangan pertama, sejak ia datang ke desa Antah berantah.

Dikirimilah kebaya terbaik, sutera termahal, emas serta perhiasan, namun itu semua tak mampu menggoyahkan cinta Astuti pada Jaka kekasihnya.

Tembak-tembakan berdarah terjadi, rumah-rumah dibakar. Tak boleh ada cinta selain kepada Si lelaki Jepang. Dihancurkannya apa yang menarik mata Astuti.

“Hanya aku saja.., kau, hanya buat aku saja…!”

Sejauh ingatanku, dan mungkin pula sepanjang ingatan Astuti, perang tidak pernah berakhir, bahkan perang itu terjadi di dalam kepala.

Aku sangat mengenal Astuti, gadis jelita nan malang, tapi kurasa Astuti tidak mengenalku. Ah…, biarlah. Siapa pula aku ini, mungkin hanya seorang hamba sahaya, mungkin hanya seorang penutur cerita. Yang kutahu, aku menjadi tangan yang dengannya Astuti bersisir, yang dengannya Astuti memegang kaca.

***

Aku tidak ingat sudah berapa hari Astuti berada di Rumah Sakit, sebab aku tidak bisa menemukan kalender 1943 di ruang perawatan. Aku menjadi seperti patung yang hanya diam menatap orang-orang, mempelajari kehidupan Astuti. Dan dari pengamatanku berhari-hari, tak pernah ada detik Rumah Sakit menjadi sepi. Ataukah mungkin saat aku berhenti mengamati, misalnya ketika tertidur ada hal yang kulewatkan, aku tidak tahu.

Aku memahami kesedihan Astuti tapi aku tidak bisa mengatakan kepadanya, sebab dari jendela kamar dapat kulihat banyak orang berjaga-jaga. Bukankah setiap orang membutuhkan waktu dengan dirinya sendiri?

Kusadari satu hal, Astuti merasa keberadaannya di Rumah Sakit itu tak ubahnya seperti di penjara.
Ketika malam tiba Astuti mendengar bisik-bisik mengenai Jaka yang sudah menikah, itu memberi satu berita baru, Jaka masih hidup! Tapi entah manakah yang lebih menghancurkan hati, kabar kematian Jaka tempo hari, ataukah kabar pernikahan itu…

“Tak ada lelaki yang akan menunggu selamanya…”

“Lagipula Astuti juga sudah terbagi”

Orang-orang pada tertidur, tapi entah mengapa harus aku yang terjaga menemani Asuti. Aku turut sedih melihat keadaannya, dank arena rasa iba sebagai sesama perempuan, aku diam saja ketika tangan itu dengan ganasnya menyerang selang infus pada punggung tangan Astuti. Darah membasahi seprei putih, Astuti menangis sejadi-jadinya, menyesali seluruh hidupnya.

Orang-orang yang tidur melantai bangun karena rasa terkejut, rasa terkejut yang semakin menjadi saat menemukan darah di seprei, sementara Astuti membenturkan kepalanya ke dinding sambil menangis.

Aku turut terluka saat menolong Astuti menghentikan rasa sakit. Aku tak ingat apa-apa.
Ketika aku tersadar, kudengar suara marah seorang lelaki paruh baya yang nampaknya tidak asing. Seorang dokter yang masih muda mencoba menenangkannya.

“itu percobaan bunuh diri, Dokter!”

Kata Si Bapaak.

Dokter menatapku, bertanyaa bagaimana perasaanku. Kukatakan bahwa aku merasa berbeda, seperti tak ada tempat untukku.

“Kamu ingat nama dan umurmu?”

Tanyanya.

Mataku terasa basah, dengan gemetar aku mengiyakan.

“Kusumastuti, Dok… tujuh belas tahun”

***
Karya: Sofyani Syarifuddin (Asal Batetangnga dan Alumni Mahasiswa Jurusan PGSD di UNM)

Share on Google Plus

About KKPMB

Kerukunan Keluarga Pelajar Mahasiswa Batetangnga (KKPMB) adalah oragnisasi paguyuban yang menghimpun pelajar dan mahasiswa yang berasal dari desa Batetangnga.

0 komentar:

Post a Comment