Terbitnya
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah membuka sebuah
era baru dalam pembangunan di Indonesia. Undang-undang ini memberikan peluang
besar dalam meningkatkan kesejahteraan desa. Di masa lalu, desa lebih banyak
menjadi objek kebijakan, kini desa memiliki kewenangan dan kesempatan lebih
luas untuk menentukannya sendiri.
Berbagai regulasi
turunan undang-undang telah diterbitkan untuk mengatur berbagai hal agar
pembangunan desa dapat berjalan sebagaimana amanat UU Desa. Regulasi tersebut
tertuang di dalam berbagai tingkatan, dimulai dari Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri-menteri terkait (Peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Peraturan
Menteri Keuangan), dan juga peraturan pelengkap yang diterbitkan oleh daerah
(Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa).
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah sudah mengucurkan dana desa
sebanyak Rp 127,74 triliun sejak pertama kali digelontorkan pada 2015. Ada
74.910 desa yang sudah menerima dana tersebut, dengan rincian pada sebesar Rp
20,76 triliun (2015), Rp49,98 triliun (2016) dan Rp60 triliun (2017). Presiden
Jokowi mengatakan setiap desa pada tahun pertama kira-kira dapat Rp300 juta,
tahun kedua Rp600 juta, tahun ketiga Rp800 juta, dan seterusnya.
Pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam
pembangunan merupakan wujud pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Namun, dalam kenyataannya, hingga saat ini masih banyak warga masyarakat yang
belum dapat menjangkau maupun mengakses pembangunan desa pada berbagai tahapan.
KPK menemukan 14 potensi persoalan dalam
pengelolaan dana desa yang berjumlah Rp20,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015.
Rencananya, dana itu akan tersalur pada 74.093
desa di seluruh Indonesia. 14 potensi persoalan yang dimulai sejak Januari 2015
itu terdiri dari aspek regulasi kelembagaan, aspek tata laksana, aspek
pengawasan dan aspek sumber daya manusia.
Aspek regulasi kelembagaan terdiri dari belum
lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa, potensi
tumpang tindih kewenangan Kemendes PDT dengan Ditjen Bina Pemerintah Desa
Kemendagri, tidak transparannya formula pembagian dana desa dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2015, dan hanya didasarkan atas dasar
pemerataan.
Selain itu, pengaturan pembagian penghasilan
tetap bagi perangkat desa dari anggaran dana desa (ADD) yang diatur dalam PP
Nomor 43 tahun 2014 dinilai kurang berkeadilan serta kewajiban penyusunan
laporan pertanggungjawaban oleh desa yang tidak efisien akibat ketentuan
regulasi dan tumpang tindih. Sementara itu dalam pemaparannya,
Menteri Desa Eko Putro Sandjojo mengatakan
sejak 2015 pemerintah telah menyalurkan dana desa sebesar Rp20,8 triliun. Meski
diakuinya, saat itu masyarakat belum siap sehingga penyaluran dana kurang tepat
sasaran.
“Pada 2015 sangat tidak mungkin mengetahui
kebutuhan desa secara tepat karena jumlah desa sangat banyak yaitu 74.053 desa.
Akibatnya Rp20,8 triliun dana yang terserap hanya 90%. Peraturan masih baru,
kepala desa juga masih terbatas pemahamannya,” tuturnya.
Pada 2016, penyerapan dana desa meningkat
menjadi 99,83%. Masyarakat mampu membangun 66.000 km jalan desa sesuai kebutuhan,
511 km jembatan di desa, 1.800 pasar, dan curah tambatan longsor ada 38.000
unit.
Masalah yang kemudian muncul adalah regulasi
yang relatif baru ini belum sepenuhnya dipahami oleh para pelaksana di daerah.
Hal lain yang cukup menjadikan perhatian adalah semakin besarnya dana yang
dikucurkan pemerintah pusat/daerah ke desa.
Tahun 2016, pemerintah pusat telah
mengucurkan dana desa sebesar Rp46,98 triliun, padahal Kabupaten
Karanganyar sendiri sudah menerima dan mengucurkan dana sebesar Rp103 miliar. Besarnya
dana yang harus dikelola oleh pemerintah desa belum selaras dengan kemampuan
SDM di desa yang beragam, kondisi geografis yang sangat luas, serta jumlah
penduduk dan luas wilayah yang bervariasi. Akibatnya adanya tindakan kecurangan
di pemerintahan desa yang cukup tinggi.
Menurut Association of Certified Fraud
Examiners (ACFE), kecurangan (fraud) adalah perbuatan curang yang
dilakukan dengan berbagai cara secara licik dan bersifat menipu dan sering
tidak disadari oleh korban yang dirugikan. Ada tiga jenis fraud yakni
penyalahgunaan aset, kecurangan laporan keuangan, dan korupsi. Kecurangan
laporan keuangan nampak pada penyajian lapaoran keuangan (laporan APBDesa) yang
dimanipulasi sehingga tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis ada
110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016 sampai
10 Agustus 2017. Dari 110 kasus itu, pelakunya rata-rata dilakukan kepala desa
alias Kades. Dari 139 aktor, 107 di antaranya merupakan kepala desa. Pelaku
korupsi lainnya adalah 30 perangkat desa dan istri kepala desa sebanyak 2
orang.
Dari 110 kasus tersebut, jumlah kerugian
negaranya mencapai Rp 30 miliar. Adapun sejumlah bentuk korupsi yang dilakukan
pemerintah desa, yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan
wewenang, pungutan liar, mark up anggaran, laporan fiktif,
pemotongan anggaran, dan suap.
Pelibatan seluruh lapisan masyarakat
Buruknya pengelolaan dana desa ini akibat dari
tidak pedulinya masyarakat desa. Sehingga akan memberikan kesempatan bagi-bagi
orang-orang yang ingin memperkaya diri sendiri. Seyogyanya masyarakat desa
harus ikut andil dalam mengawasi setiap anggaran serta alokasi dana desa,
sehingga dapat dimanfaatkan sebesarnya-besarnya untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
Peran pemuda desa pada
saat ini masih belum optimal. Keadaan tersebut dapat kita lihat dari
berbagai kegiatan dan proses pembangunan di desa. Desa belum melibatkan peran
pemuda secara menyeluruh dalam proses pembangunan desa, kecuali hanya melalui
karang taruna. Sehingga tidak heran ketika banyak pemuda desa yang melakukan
urbanisasi.
Dengan adanya Badan Usaha Milik Desa (BUM
Desa) diharapkan akan mampu menurunkan angka urbanisasi angkatan kerja
khususnya bagi pemuda di desa. Hal tersebut dapat dilakukan jika desa mampu
mengoptimalkan peran pemuda untuk ikut andil dalam mengelola BUM Desa.
Dikelolanya BUM Desa oleh pemuda desa akan
dapat mempunyai dampak positif. Pertama, membuka lapangan kerja bagi pemuda di
desa, karena pemuda di desa dapat ikut mengelola BUM Desa yang artinya pemuda
desa juga ikut bekerja di BUM Desa.
Kedua, BUM Desa akan terkelola dengan baik.
Hal tersebut karena jiwa pemuda masih bersih dan belum terpengaruh dengan
kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga pengelolaan BUM Desa akan jauh dari
hal-hal yang bersifat politik praktis.
Ketiga, BUM Desa akan dapat mengelola dan
memanfaatkan potensi desa dengan maksimal. Karena pemuda adalah sumber
daya manusia yang masih segar dan mempunyai kapasitas pendidikan yang tinggi
jika dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Dengan kapasitas pendidikan
yang tinggi tentu membuat pemuda lebih paham terkait dengan potensi yang ada di
desa.
Keempat, pemuda desa mempunyai waktu atau umur
yang relatif panjang sehingga rencana atau visi BUM Desa dapat terlaksana dan
terwujud. Program-program yang dilakukan BUM Desa akan berjalan secara terus
menerus dan berkelanjutan.
Kelima, adalah Pendapatan Asli Desa atau
PADesa akan didapat secara optimal. Dapat dipastikan Pendapatan Asli Desa
(PAD) akan bertambah dan pembangunan di desa juga akan berkembang secara
berkesinambungan.
Keenam, perekonomian di desa akan dapat
dikendalikan dengan baik melalui pengelolaan BUM Desa yang berdaya saing,
sehingga ketahanan ekonomi di desa akan kuat. Keterlibatan masyarakat dalam
proses penganggaran adalah hal yang sangat penting baik bagi pemerintah desa
maupun masyarakat.
Keterlibatan masyarakat akan berkontribusi
terhadap kualitas perencanaan program desa dan memberikan kesempatan bagi
mereka dalam menyuarakan kebutuhan. Oleh karena itu, pemerintah desa harus
proaktif melibatkan masyarakat dengan menyediakan wadah partisipasi dalam
setiap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program desa.
Penutup
Memberikan kesadaran bagi masyarakat baik
kelompok pemuda, kaum perempuan, dan masyarakat lainnya untuk berpartisipasi
dalam pembangunan desa sangat diperlukan dan mestinya jadi kewajiban bagi
pemerintah untuk melibatkan elemen masyarakat desa.
Sadar atau tidak sadar, sesungguhnya anggaran
tersebut adalah uang yang mereka bayar melalui pajak maupun retribusi lainnya
yang dikumpulkan oleh pemerintah. Uang itu lalu didistribusikan kembali kepada
masyarakat melalui program pembangunan.
Oleh karena itu, masyarakat berhak mengawasi
dan mengetahui ke mana anggaran tersebut dipergunakan. Kontrol masyarakat akan
memberikan dampak yang sangat besar bagi keberlangsungan program pemerintah
bagi kesejahteraan masyarakat.
Transparansi dan akuntabilitas dalam
penganggaran harus diutamakan untuk menjamin anggaran tersebut tepat sasaran.
Untuk memaksimalkan control masyarakat pemerintah harus menyediakan pusat
pengaduan masyarakat yang mudah diakses oleh publik. Sehingga ketika ada
indikasi pelanggaran, maka masyarakat akan tanggap dan melapor yang kemudian
ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang.
Saya yakin dengan niat yang baik dan didukung
oleh keuangan yang memadai serta adanya bottom up control dari
masyarakat akan memberikan dampak yang sangat baik bagi kesejahteraan
masyarakat di desa. Jika terjadi penyelewengan dana desa, tentu wajib diusut
dan dihukum pelakunya. Karena Indonesia adalah negara hukum sesuai Pasal 1
ayat 3 UUD 1945.
Gagasan ini hadir menyeruak ke tengah-tengah
kita semua untuk mempromosikan sebuah tradisi berhukum, yang sepenuhnya ingin
membawa kita ke dalam sebuah situasi sosial yang di dalamnya kita hanya
akan melihat serta selalu melihat keadilan sebagai “obsesi moral terbesar”
yang menjiwai roda politik administrasi pemerintahan, politik perundangan-undangan,
serta politik ajudikatorial.
Cita-cita luhur yang hendak diperjuangkan
adalah tegaknya supremasi hukum dan keadilan. Sebab, seperti selalu dikatakan
banyak penulis, “justice is the most basic need we have in the maintenance
and furtherance of our humanity.”
***
Diposting: Syaharuddin Zaruk
0 komentar:
Post a Comment