Tidak terasa kini memasuki pekan
terakhir kampanye pilpres. Ya, pemilihan umum capres adalah salah satu wujud
demokrasi negeri ini dan penyelenggaraannya sebentar lagi.
Nampak animo masyarakat tidak kalah sakaunya, Tidak sedikit dari mereka bahkan
menyebut idolah masing-masing dengan sapaan "pak presiden".
Biasanya, Pemilihan umum dinarasikan
sebagai "pesta demokrasi". Kata pesta bias ditafsirkan sebagai
ekspresi emosi perayaan; kegembiraan, riang, kebersamaan ,serta makna-makna
kebahagiaan lainnya. Uniknya pesta tersebut masih diisih dengan jumlah dan oleh
orang yang sama. Ibarat jomloh, umumnya kebingungan menemukan hidup
penuh makna penuh cinta, saya tak kala serupa dihinggapi kecamuk perasaan dan
kebingungan. Ya, bingung dengan perebutan kursi nomor wahid negeri ini, mengapa
tak ada penambahan kandidat dan wajah baru? Inikah wujud demokrasi berkemajuan?
Atau justru sebaliknya!.
Term SD pada judul bukan singkatan
atau perwakilan dari sebuah institusi maupun lembaga pendidikan, melainkan
sebatas upaya pemetaan rentan anak usia antara 6 hingga 14 tahun. Bagaimana
umumnya sikap sosial mereka; kesamaan, perbedaan, dan aktivitas lainnya.
Mungkin kita pernah menjumpai anak yang tumbuh dalam lingkungan majemuk,
berlatar belakang beda; islam dan non muslim, baik mereka sebagai tetangga,
teman sekolah,dll, intraksinya anak cenderung bersikap terbuka dan biasa saja.
Perbedaan itu mewujud rahmat. Berbeda ketika semula anak tidak pernah berintraksi
diluar lingkarannya. Seorang anak tiba-tiba menangis, atau menjukkan ekspresi
ketidak sukaan, penolakan. Sikap defensif semacam ini umumnya terjadi pada
siapapun, negatif kepada yang beda. Tak kenal maka tak sayang. Tingkah tersebut
masih tergolong wajar, itu adalah fase tumbuh kembang baik dari aspek berpikir(kognitif), emosi(afektif), maupun pisik(psikomotorik)
anak. Sebagai orang dewasa melihat perilaku negatif mereka; menjadi contoh,
memberi wejangan dan edukasi adalah penangan terbaik. Sayangnya kedewasaan
terenggut kala tiba masa "pesta demokrasi" Seperti Arus yang
berbalik.
Menarik melihat respon dan komentar,
baik dimedia sosial maupun dimedia masa oleh simpatisan kedua kubu; Akademik dan non-akademik, pengamat politik, tokoh agama. Bukannya tampil
melempar tawaran paslon bagaimana kedepan indonesia maju. Sebagian justru
saling serang, berstigma. Ada yang menggugah janji? Ada pula mengukil masa lalu
menanyakan prestasi? Semua tersaji dalam konotasi negarif.
Disisi lain, Sengketa dan dikotomi
kaum milenial dini dan milenial dewasa secara otomatis membagi kelompok mereka;
kecebong(cebong) dan kampret(kelelawar kecil) sebagai legitimasi, sekaligus menegaskan identitas dukungan.
Simbol "binatangisme"
meminjam istilah dalam paper buku terjemahan Mahbub Djunaidi, Ini seperti kisah
dualisme kepemimpinan kamerat Snowball dan kamerad Napoleon, dua binatang yang
berebut kuasa dan termaktub dalam alegori politik George Orwell "kekuasaan ternyata sunggu memabukkan, dan
dualisme tak bisa dibiarkan_ walau harus dengan kekerasan.
Penggalan kisah diatas, sedikit
menggambarkan hiruk pilu perebutan kursi nomor satu. Seperti kata Aristoteles
seorang filsuf materialisme terkemuka bahwa manusia pada dasarnya adalah
binatang yang berpolitik. Tak heran jika saat periode politik tiba sifat
kebinatangan itu muncul, siap menerka melumat siapa saja yang dianggap beda
dengan fitnah, membegal demokrasi demi hasrat politik.
Lebih jauh, keduanya pengagum
justru saling mencaci dan ed hominem.
Frame serta hoaks diproduksi sedemian rupa. Menurut KH. Hasyim Muzadi "kecerdasar bergantung pada kondisi kejiwaan
seseorang, lalu beliau mencontohkan seorang doktor, atau profesor sekalipun
ketika pulang kerumah saat dimarahi istri akan kelihatan bodohnya,
kecerdasannya terguncang". DiIndonesia orang lebih mudah terpengaruh
jika isu SARA diangkat. Selama manusia masih memiliki sifat emosi tidak menutup
kemungkina apakah orang itu pandai atau bodoh akan terpengaruh pada hoaks.
Sebab hoaks menggrogoti fitrah manusia yaitu emosi. Ini berbeda dengan
pandangan politikus yang mengatakan hoaks hanya dipengaruhi oleh orang bodoh.
Ironi memang, banyak pengamat
politik dan tokoh agama terjebak sikologi rakyat menjilat rakyat, takut
ditinggal jamahat. Mereka yang harusnya tampil menjadi mercusuar menarangi dan
mendampingi umat, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya banyak pengamat dan
tokoh agama sibuk menjual akal sehat dan ayat-ayat(kalam) Allah demi kepuasan hasrat pengikutnya. Pikiran yang
terbatas dan kemiskinan identitas/kekosongan rohani, membuat mereka merasa
nyaman hidup dalam ilusi semu(post-true). Sikap fanatisme yang semakin
mengkristal, setelahnya apa yang nampak adalah kebodohan pada titik terendah
sebagaimana yang digolongkan oleh imam Al-Ghazali "Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri" situasi
dimana seseorang tidak tahu(tidak berilmu), dan dia tidak tahu kalau dirinya
tidak tahu. Jenis manusia yang paling buruk, mabuk menawarkan akal sehat.
Peng-aku-an benar.
Dibalik rumitnya dinamika politik,
wajah "pesta demokrasi" tidak lagi menunjukkan
semensinya. Defisit! Mungkin. Asas dasar nilai demokrasi yaitu kesetaraan satu
indivudu satu hak suara tercederai oleh hasrat politik menyerang siapa saja
tanpa batas dan etika. Ada kalanya pada titik ini kita kembali menyehatkan akal
kita layaknya anak yang hidup dalam perbedaan bersikap; terbuka dan santai, berkaca
menyikapi capres dengan gaya SD.
Sumber gambar: Riauguna.com
Sumber gambar: Riauguna.com
Penulis: Azrar Mubarak
(Alumni Jurusan Pendidikan Fisika UIN Alauddin Makassar. Mantan Sekertaris Umum PMII Rayon Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Cabang Gowa. Mantan Sekretaris Umum KKPMB Periode 2014 s.d 2015).
0 komentar:
Post a Comment