Seminggu yang lalu, Penulis sempat mendapat kabar terkait
adanya langkah upaya pembebasan lahan Hutan lindung yang berada di sebelah
utara pegunungan wilayah desa Batetangnga. Setelah beberapa bulan sebelumnya
lahan hutan lindung tersebut juga menuai persoalan terkait adanya oknum
penjahat/mafia hutan bersama dengan Pemerintah desa setempat yang melakukan
proses Illegal Loging. Kabarnya,
sempat di usut sampai ke ranah hukum dan dalang dibalik semuanya sudah
terdeteksi. Tapi entah mengapa sebelum melangkah ke proses hukum selanjutnya
laporan tersebut justru malah dicabut oleh pihak pelapor. Tetapi mungkin ada pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Kali ini, penulis sebenarnya tidak akan membahas terkait
kasus Illegal Loging tersebut yang
sudah lalu, tapi lebih kepada negasi darinya. Yaitu upaya pembebasan hutan
lindung yang berada di wilayah desa Batetangnga dan pada kenyataannya ternyata
terintegrasi dengan Program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA)—salah satu
program Nawacita dari pemerintahan
presiden Jokowi dan prosesnya telah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu.
***
Apa itu Program Tanah
Obyek Reforma Agraria (TORA) ?
Saat ini, kemungkinan besar masih banyak masyarakat yang
belum mengetahui pasti adanya program TORA, terlebih tujuan, manfaat, asas dan
dampak kemungkinan buruk yang melingkupinya. Utamanya masyarakat yang berada
pada tingkat tapak sebagai obyek TORA di lapangan.
Program TORA sendiri adalah program kebijakan Pemerintah
bersama dengan Perhutanan Sosial dalam upaya mewujudkan pemerataan ekonomi yang
menitik beratkan pada proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan, pengelolaan
dan pemanfaatan lahan. Dengan program Reforma Agria versi Pemerintah tersebut,
maka di alokasikanlah kepemilikan lahan TORA dan pemberian legalitas akses
Perhutanan Sosial kepada masyarakat bawah/miskin.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Hutan juga telah menargetkan
cakupan dan luas redistribusi tanah seluas 4,5 juta Hektare. Itu berasal dari
tanah pelepasan Kawasan hutan seluas 4,1 juta hectare, tanah dari hak guna
usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan tanah telantar 0,4 juta
Hektare. Kemudian Pemerintah telah menganggarkan Rp 826 Miliar untuk
penyelesaian TORA 2018 seluas 1,6 juta hectare sampai pada bulan Februari yang
lalu. Dan untuk target 2019 seluas 1,7 Hektare (KLHK, 2018).
Sebagai penjabaran lebih sederhana lagi agar pembaca yang
budiman dapat lebih muda memahami, Pemerintah akan melakukan pola penyelesaian
untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah
itu ditunjuk sebagai kawasan hutan. Langkah penyelesaian yang diambil
diantaranya dengan mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui
perubahan batas kawasan hutan. Opsi lain yaitu dengan melakukan tukar menukar
kawasan hutan. Selanjutnya dengan memberikan akses pengelolaan hutan melalui
program perhutanan sosial, atau opsi terakhir dengan melakukan resettlement
(KLHK, 2018).
Dari hasil identifikasi peta arahan lokasi TORA, seluas
lebih kurang 3,7 juta Ha berada di Hutan Produksi baik itu Hutan Produksi Tetap
(HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), maupun Hutan Produksi yang dapat
Dikonversi (HPK). Disamping itu terdapat seluas lebih kurang 454.190 Ha yang
berada pada areal Hutan Produksi yang dibebani izin Hutan Alam (HA), Hutan
Tanaman Industri (HTI), dan Restorasi Ekosistem (RE) (KPA, 2018).
Sedangkan Menurut Menko Darmin dalam acara diskusi yang
bertemakan “Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial” di Galeri Nasional pada
bulan maret 2018, bahwa tujuan Program TORA di antaranya ada 6. Yang pertama, untuk
mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Kedua, untuk menciptakan
sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agrarian.
Ketiga, untuk menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan. keempat,
untuk memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi. Kelima, untuk
meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Serta, pemerintah juga berharap
program ini dapat memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup serta
menangani dan menyelesaikan konflik agrarian (Sumber: ekon.go.id).
Terkhusus untuk Sulawesi Barat, dalam penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan untuk penyediaan sumber Tanah Obyek
Reformasi Agraria (TORA), bahwa seluas 25 ribu hektar lahan milik masyarakat di
Sulbar akan dikeluarkan dari kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL).
Dari 25 ribu hectare tersebut, berada di 76 desa (termasuk desa Batetangnga)
dari enam kabupaten yang masuk dalam data target inver (Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan) PTKH Sulbar. (Data tersebut diambil dari BPKH Wilayah VII
Makassar dari hasil sosialinya di Mamuju pada bulan januari 2018.
Sementara berkas yang berisikan peta dan dan formulir
pendaftaran TORA dari setiap desa (Termasuk Desa Batetangnga) yang berada di
polewali mandar, dikumpul dan dirampungkan di Dinas Kehutanan tepatnya di
bagian Kabid Perlindungan Hutan (KPH). Sedangkan menurut info dari Ka.UPTD
bahwa berkas tersebut telah di kirim ke kantor BPKH Wilayah VII Makassar untuk
di verifikasi, dan info terakhir sudah masuk tahap finalisasi.
Mempersoalkan Program
TORA
Pada prosesnya, Program TORA ternyata banyak menuai kritikan
dari berbagai kalangan pegiat lingkungan. Namanya kebijakan nasional tentunya
akan bermunculan persepsi pandangan atas pro kontra. Tentu dengan alasan
mendasar dan di landasi oleh penelitian dan kajian teori serta lapangan secara
mendalam, sampai pada upaya-upaya penolakan dalam bentuk praksis pun dilakukan.
Posisi penulis sendiri cenderung pada sikap kontra, seperti
yang pernah dijelaskan sebelumnya pada status facebook penulis. Alasannya;
kriteria dan alokasi TORA dalam bentuk instrument pemerintah dibangun secara
sepihak tanpa melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam perumusannya
sehingga tidak berkesesuaian dengan tujuan pokok Reforma Agraria seperti diatur
dalam UU Pokok Agraria tahun 1960 oleh Soekarno.
Alasan selanjutnya semakin kuat bagi penulis dalam menolak
Pogram TORA, setelah melakukan diskusi dua hari yang lalu dengan kawan-kawan
Konsorsium Pembaruan Agraria Sulawesi Selatan (KPA Sulsel). Bahwa alasan
menolak TORA karena; 1. obyek yang dialokasikan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai TORA mengecualikan wilayah konflik agraria
dan area tumpang-tindih kewilayahan masyarakat dengan klaim kawasan
kehutanan/pertambangan; 2. Karena terindikasi adanya kepentingan pembangunan
perkebunan skala besar dibalik TORA Kawasan Hutan (KPA, 2018); 3. Wilayah
perkebunan skala besar yang dimaksuk didalamnya terdapat milik BUMN/PTPN,
selama ini bersengketa dan telah merampas tanah rakyat dan terkecualikan
menjadi targer Reforma Agraria versi Pemerintah; 4. orientasi utama TORA masih
bersifat sektoral perkebunan, kehutanan dan pedesaan. Padahal tujuan Reforma
Agraria mesti multi sektoral. Sehingga perlu dirancang juga penyelesaian
ketimpangan struktural di wilayah pertambangan, pesisir, kelautan, pulau-pulau
kecil dan masalah agraria perkotaan (KPA, 2018); terakhir, 5. masalah legalisasi asset
(sertifikasi).
Contoh kasus di lapangan yang menuai banyak penolakan
terhadap TORA yang masih sangat jauh dari harapan Rakyat Indonesia.
Diantaranya: 400 KK warga Samosir menolak TORA karena tanah yang mereka kelola
merupakan tanah adat dan tanah ulayat yang akan dialih fungsikan. Begitupun
Masyarakat Sulawesi Tengah yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat
Sulawesi Tengah (APRST) menolak program Reforma Agraria yang sedang dijalankan
pemerintah Sigi melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang juga
terintegrasi dengan Program TORA. Mereka beranggapan bahwa agenda tersebut
merupakan cuci tangan negara-negara industri padat energi fosil dan
berimplikasi merampas wilayah kelola kaum tani di dalam dan sekitar kawasan
hutan. Sebab, tidak adanya pengakuan hak kelola petani untuk berkebun menanam
komoditas sesuai kebutuhannya. Kemudian hanya memberikan akses untuk
memanfaatkan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan negara lewat regulasi.
Sementara, jauh sebelum penetapan kawasan hutan para petani sudah lama tinggal
dan berkebun di dalam dan sekitar hutan. Bahkan sebagian telah ada sebelum
terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan masih banyak lagi di
daerah lain menolak Program TORA yang penulis tidak bisa sebutkan.
Hutan Lindung
Batetangnga yang di TORA-kan
Desa Batetangnga yang memiliki areal kawasan hutan lindung (yang penulis sendiri hanya tahu keseluruhan
Kawasan hutan di kecamatan Binuang dengan luas ±4.251,45 hektar, belum termasuk
luas yang akan di TORA-kan) adalah salah satu dari 76 desa di Sulawesi
Barat yang areal kawasan hutannya akan di TORA-kan dengan luas keseluruhan 25
ribu hektar.
Jika areal kawasan hutan lindung di desa Batetangnga lolos
verifikasi dan layak di TORA-kan. Sebagai asumsi penulis, maka akan muncul
posisi dilematis dan berakibat tumpang tindih bagi kepentingan masyarakat desa Batetangnga.
Bagaimana tidak, jika disatu sisi menguntungka warga setempat khususnya warga
yang berada dekat dengan areal Kawasan tersebut. Hutan lindung akan dialih
fungsikan menjadi hutan produksi dan warga yang masuk rekomendasi akan punya
status hokum dalam hal pengelolaan lahan.
Disisi lain, akan merugikan warga yang bermukim di areal
dataran rendah (pusat desa Batetangnga) yang notabene adalah petani penggarap
sawah. Bagaimana tidak, irigasi yang mengaliri sawah-sawah warga bersumber dari
satu-satunya mata air yang berada dalam lingkup Kawasan hutan lindung tersebut.
Karena jika hutan lindung itu dibebaskan dan disulap menjadi Kawasan produksi,
maka otomatis debit air yang mengalir akan semakin berkurang dan kedepannya
berdampak pada kekeringan sawah-sawah masyarakat. Dan untuk tahun-tahun
terakhir ini saja, petani penggarap sawah sudah mulai merasakan dampak semakin
kurangnya debit air mengaliri sawa-sawah mereka. Apa jadinya jika TORA
benar-benar terjadi.
Ada Kejanggalan
Dibaliknya?
Sebelum pemerintah desa Batetangnga mengajukan berkas yang
berisikan peta dan formulir pendaptaran TORA ke kantor KPHL Mapilli. Rupanya
menurut informasi dari masyarakat bahwa pemerintah desa sama sekali tidak
melakukan sosialisasi terbuka kepada masyarakat secara umum. Bahkan Ketua Adat
dan beberapa kelompok tani tidak tahu menahu terkait hal tersebut.
Padahal indikasi yang paling penting sebelum melakukan
pendaftaran TORA oleh Pemerintah desa, sesuai dengan intruksi BPKH Sulselbar
adalah keterbukaan dari pemerintah desa dalam mensosialisasikan TORA kepada
seluruh masyarakat Batetangnga tanpa terkecuali, kemudiaan melakukan pendataan
serta mengumpulkan bukti penguasaan tanah yang diajukan masyarakat, membuat
batas, sketsa penguasaan tanah, kemudian mengajukan permohonan ke Bupati secara
kolektif.
Pertanyaannya, jika pemerintah desa Batetangnga sebelumnya
tidak melakukan sosialisasi terbuka sehingga hamper semua masyarakat desa
Batetangnga tidak tahu menahu terkait hal itu, bahkan masyarakat yang bermukim
dekat Kawasan hutan pun tidak tahu. lalu
siapa masyarakat dimaksud dalam berkas yang telah diajukan???, masyarakat yang
mengumpulkan bukti penguasaan???, batasnya bagaimana???, dan berapa luas masing-masing
penguasaan tanah???
Ada apa dengan
pemerintah desa Batetangnga??? masyarakat Batetangnga harus jeli melihat
persoalan ini. Bukan maksud penulis menuduh, tapi sudah menjadi rahasia umum
terkait rekam jejak pemerintah desa Batetangnga, bahwa sebelumnya pernah
tersandung kasus Illegal Logging.
Jangan sampai masyarakat keteteran untuk kedua kalinya dan paling mengerikan
jangan sampai dibalik semuanya ada permufakatan jahat. Sehingga redistribusi
(pembagian) lahan nantinya tidak sebagaimana mestinya, tidak tepat sasar untuk
masyarakat miskin, dan Justru yang diuntungkan adalah orang atau oknom tertentu
saja, sehingga jadinya buah simalakama
bagi masyarakat Batetangnga sendiri.
Masyarakat Batetangnga harus ingat, bahwa komplotan jahat
dibalik kasus Illegal Logging kemarin
tidak berujung dibalik jeruji besi. Jangan sampai komplotan ini bermain
kembali. Sekali lagi masyarakat Batetangnga Harus jeli melihatnya.
Apa yang Harus
dilakukan?
Meskipun berkas pendaftaran TORA yang telah diajukan oleh pemerintah
desa Batetangnga sejak akhir tahun 2017 lalu sudah tidak bisa di cekal dan
ditinjau kembali, karena telah di verifikasi di kantor BPKH Wilayah VII
Makassar, serta kemungkinan besar sudah masuk tahap finalisasi. Ini bukan
berarti nasi sudah jadi bubur (seperti
kasus penghancuran Cagar Budaya “Batetangnga”, yang bagi penulis sendiri belum
selesai dan masih akan diusut), karena tahap selanjutnya akan ada peninjauan
lapangan. Pada tahap ini masyarakat harus menunjukkan sikap penolakan terhadap upaya
pembebasan lahan yang terintegrasi dalam program TORA.
Seperti apa sikap penolakan itu:
1. Mulai dari sekarang, Team Advokasi harus
dibentuk sebagai penanggung jawab mengawal kasus tersebut.
2. Mendesak pemerintah desa agar berkas yang
diajukan di share ke masyarakat.
3. Membangun kontak dengan Lembaga pengaduan
persoalan Agraria, dalam hal ini bisa mengadu ke Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
4. Membuat kronologi kasus kemudian di kampanyekan
melalui media.
5. Membuat petisi pernyataan sikap yang berisi
tanda tangan masyarakat Batetanganga minimal 50 % sebagai bentuk penolakan.
Sebagai penutup, harapannya kepada seluruh masyarakat Batetangnga
agar tidak bersikap apatis terhadap persoalan ini, sebab ini menyangkut hajat keberlangsungan
hidup yang lebih baik untuk kita, anak, cucu, dan generasi selanjutnya.
Catatan: Jika di dalam tulisan ini terdapat kekeliruan, dari ujung kepala sampai kaki penulis meminta maaf sebesar-besarnya. penulis siap diskusi 24 jam dan dapat di temui di kediamannnya, di Makassar, Jl. Syekh Yusuf, Kompleks Kodam Katangka. Blog G22 No.4.
Penulis: Syaharuddin Zaruk
(Mahasiswa Teknik Informatika di Universitas Negeri Makassar. Sekretaris KPO-PRP Kota Makassar. Anggota Front Mahasiswa Demokratik. Mantan Pengurus KKPMB Periode 2014 s.d 2015. Bercita-cita berhenti merokok dan berharap suatu saat nanti memiliki istri yang mempunyai lesung pipi)
0 komentar:
Post a Comment