Saya, mungkin hanya akan berhipotesis dalam tulisan kali ini.
Tentunya berangkat dari tolak ukur situasi obyekti yang melingkupinya, melihat fenomena
penutur bahasa Pattae dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan.
Mungkin, bukan sebuah masalah, jika tidak terlalu mahir
dalam menuturkan bahasa Pattae, kita masih berhak mengaku sebagai orang Pattae,
dan melanjutkan hidup tanpa ada yang berhak menghalang-halangi. Kita masih bisa
berkunjung ke kampung halaman, tanpa ada yang melarang. Di kampung halaman,
kita berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, atau lebih kerennya
menggunakan bahasa Inggris atau pun bahasa Arab. Dan sedikit malu-malu jika
menuturkannya dalam keadaan yang tebata-bata. Tapi, saat menuturkan bahasa
Pattae dalam keadaan terbata-bata, maka kesannya akan berbeda—sebuah lelucon dan
kelucuan—menertawai diri sendiri. Ini baru sebuah masalah, sebuah sikap
menghina identitas sendiri!
Sebenarnya, mahir dalam menggunakan bahasa Indonesia apalagi
bahasa Inggris dan baha Arab, bukan sebuah masalah. Justru, itu kepantasan
mendapatkan acungan jempol. Tapi, point masalahnya adalah pada penggunaan
bahasa daerah. Sadar tidaknya, bahasa Pattae terus tergerus, baik dari
frekuensi pengguna atau kuantitas dan kualitas penutur. Sebuah ancaman
sekaligus peringatan kepunahan.
Bagaimana tidak, dari hasil pengamatan saya, yang mungkin
terbatas. Pengguna atau pun penutur bahasa Pattae yang fasih, hanya bisa
ditemui dikalangan umur 30-an keatas. Selebihnya, mencampur adukkan kosa kata
bahasa—baik itu bahasa Indonesia, bahasa
mandar, maupun bahasa bugis dengan segalah keterbatasan dalam menuturkannya.
Paling memprihatinkan, ada pada kalangan generasi millennial
yang lahir tahun 2000-an. Saya berani menggaransi, hanya sekitar dua puluh
persen saja bisa menggunakan bahasa Pattae, itupun masih dalam keadaan
terbata-bata. Delapan puluh persen lainnya, sama sekali tidak bisa menggunakan
bahasa Pattae.
Saya pernah mendengar curahan hati dari seoarang tokoh adat
yang berdomisi di daerah awal peradaban masyarakat Pattae (Desa Batetangnga). Beliau
(tak perlu saya sebutkan namanya), pernah suatu waktu berkomunikasi dengan
cucunya yang sudah berada di bangku sekolah menengah pertama, kira-kira umurnya
14 tahun. Kecakapan cucunya dalam berbahasa Inggris dan Arab tak perlu di ragukan
lagi. beliau menyuruh cucunya untuk membelikan rokok di warung sebelah menggunakan
bahasa Pattae, tapi cucunya malah bingung tidak mengerti apa yang di katakan
oleh kakeknya. Setelah kakeknya menyuruh ulang dengan menggunakan bahasa Indonesia,
baru cucunya itu mengerti. Setelahnya itu, beliau menangis dan berkata “Mangngolo lako duappulo taun, paqdemi tau,”
Artinya: dua puluh tahun kedepan, kita akan hilang.
Pesan yang di sampaikan diatas, sangat menohok bagi yang
mengerti dirinya, dalam artian mengerti bahwa ia adalah anak kandung bumi
Pattae. Sebab, kita hilang karena generasi kita tidak bisa lagi menjelaskan
kebesaran leluhurnya menggunakan bahasa Ibunya sendiri. Mungkin, ada yang
beranggapan, bahwa itu sekedar asumsi yang berlandaskan ke khawatiran subyektif
semata. Tapi, data menunjukkan, kepunahan bahasa adalah ke khawatiran umum.
Ethnologue mencatat
sebanyak 7.102 bahasa yang dituturkan si seluruh dunia. Sementara itu, di
Indonesia tercatat 707 bahasa (termasuk bahasa Pattae) yang dituturkan sekitar
221 juta penduduk. Kurang lebih sepuluh persen dari jumlah bahasa di dunia ada
di Indonesia.
Para ahli memprediksi bahwa setengah dari bahasa di dunia
akan punah. Di Indonesia sendiri menurut Moseley (2018) dalam Atlas of the World’s Languages in Dangers, terdapat
146 bahasa yang terancam punah dan 12 bahasa telah punah, salah satunya bahasa Tobada’ di Sulawesi selatan.
Akankah kedepannya bahasa Pattae akan ikut tercatat sebagai
bahasa yang punah? Itu bisa saja. sebab, bahasa Bugis Makassar pun yang
penuturnya mencapai 3,1 juta, juga masuk kategori terancam punah sekitar 25-30
tahun kedepan. Lalu, apalagi bahasa Pattae, yang notabene penuturnya mungkin
hanya sekitar puluhan ribu saja yang pada umumnya berdomisi di Sulawesi Barat,
bagian Barat. Jika tidak disadari dari awal, maka umur bahasa Pattae mungkin
akan lebih pendek lagi. Lalu apa factor penyebab kepunahan tersebut?
Menurut Lewis et al.,
(2018), suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang
mengakui bahasanya, dan oleh karena itu, bahasa itu tidak pernah di gunakan
ataupun tidak diajarkan kepada anak-anak mereka dan jika bahasa itu semakin
sedikit di gunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga kehilangan fungsi social
atau komunikatifnya.
Pendapat tersebut obyektif mencerminkan keadaan di
lingkungan masyarakat Pattae. Orang tua lebih cenderung menggunakan bahasa
Indonesia di banding bahasa pattae saat berkomunikasi dengan anaknya. Mungkin, menganggap
bahasa daerah (Pattae) terasosiasi dengan kemiskinan serta buta huruf dan
penderitaan, sedangkan bahasa mayoritas dikaitkan dengan kemajuan, sehingga
secara tidak langsung telah mengkanalisasi bahasa ibunya ke jurang kepunahan.
Wabilkhusus dikalangan angkatan muda Pattae, adalah pewaris
tunggal dalam menjaga tradisi dan warisan leluhurnya nampak pesimis perihal
ini. Jargon “sebagai pelopor kemajuan Pattae,” hanya sekedar romantika tanpa
pegangan prinsip yang kuat dalam hal pelestarian bahasa, tradisi dan kebudayaan.
Asumsi umum mencerminkan, angkatan muda tidak cakap lagi menggunakan bahasa daerah
(Pattae). Kebanyakan hanya menguasai secara pasif—mengerti tapi tidak fasih
dalam menuturkan. Bahkan yang paling menyedihkan, penulis alami sendiri, berbicara
bahasa pattae menggunakan diksi lama justru di olokkan “matussek” setingkat dengan orang kolot yang tak berkemajuan.
Oleh sebab itu, Jika suatu saat nanti bahasa Pattae
benar-benar mengalami kepunahan, maka suatu tanda hilang beriringan dengan
kekayaan budaya. Tradisi, memori, serta cara berfikir dan berekpresi yang
merupakan warisan yang tak ternilai untuk mencapai masa depan yang lebih baik,
pun akan hilang.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Tentu dengan upaya
revitalisasi, mengembalikan bahasa yang terancam punah pada tingkat penggunaan
yang lebih baik dalam masyarakat. Seperti dengan menggunakan dan membiasakan bahasa
Pattae dalam lingkup rumah/keluarga, membiasakan berbahasa Pattae dengan sesama
orang Pattae, dan mendorong agar sekolah-sekolah dalam lingkup masyarakat
pattae memasukkan mata pelajaran bahasa daerah Pattae sebagai muatan lokal. Tapi,
mungkin konsep revitalisasi tersebut masih butuh perdebatan di kalangan pemerhati,
khususnya orang Pattae untuk merumuskan suatu konsep yang lebih utuh dan
selaras dengan situasi kenyataan obyekti pada lingkungan masyarakat Pattae
sendiri.
Oh ia, saya hamper lupa. Pemerintah setempat tentu wajib
turut andil. Tapi, jangan berharap penuh, sebab diingatan masih membekas luka
atas penghancuran warisan budaya bendawi masyarakat Pattae, “Batu Bate”—benda
sejarah yang menjadi saksi zaman oleh para penutur bahasa Pattae.
Makassar, 26 Desember 2018
Catatan: Penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya jikalau
dalam tulisan ini terdapat kekeliruan. Penulis tetap akan berlapang dada
menerima kritikan dari pembaca yang budiman.
Sumber Gambar: https://inspiratorfreak.com
Penulis: Syaharuddin Zaruk
(Mahasiswa Teknik Informatika
di Universitas Negeri Makassar. Sekretaris KPO-PRP Kota Makassar. Koordinator Komite Persiapan Unifikasi Sosialis Kota Makassar. Anggota Front
Mahasiswa Demokratik. Mantan Pengurus KKPMB Periode 2014 s.d 2015. Bercita-cita suatu saat nanti memiliki istri yang mempunyai
lesung pipi).
0 komentar:
Post a Comment