Ketika bicara politik, apalagi pemilu, mungkin anak muda
yang paling banyak memilih di barisan belakang. Setidaknya, dari sejumlah jajak
pendapat, minat anak muda terhadap politik selalu disebut rendah.
Survei CSIS pada November 2017, yang berusaha memotret
orientasi sosial, ekonomi dan politik generasi milenial, menemukan hanya 2,3
persen generasi milenial yang tertarik membahas isu sosial dan politik.
Sementara survei Litbang
Kompas pada Desember 2017 menunjukkan, hanya 11,8 persen anak muda
yang bersedia menjadi anggota partai politik, sementara 86,3 persen menyatakan
tidak bersedia.
Di sisi lain, generasi muda adalah pewaris masa depan.
Karena itu, cerah dan suramnya masa depan bangsa ini, tergantung pada
keikutsertan anak muda dalam menentukan arah jalan masa depan bangsa ini. Mulai
dari mendiskusikan isu-isu kebangsaan hingga menjadi kekuatan sosial-politik
untuk mendorong perubahan yang lebih baik. Dan itu artinya, suka atau tidak,
pemuda harus terjun dalam politik.
Pemilu sebagai jalan perubahan
Politik sejatinya adalah ruang mempertarungkan gagasan
tentang bagaimana Indonesia hari ini dan di masa depan. Gagasan yang paling
dominan, yang berterima di sanubari mayoritas rakyat, akan mendapat mandat
untuk memegang kekuasaan politik Negara ini. Di sini, kekuasaan
politik bisa diibaratkan dengan kemudi,
yang mengatur arah dan langkah maju bangsa ini kedepan.
Tentu saja, ada masalah besar jika ruang politik tidak
disesaki oleh gagasan yang bertarung, melainkan suara gaduh para demagog dan
petualang politik. Lebih berbahaya lagi, jika yang paling nyaring terdengar
dari politik adalah kebohongan dan ujaran penuh kebencian.
Begitu juga si pemegang kemudi. Jika pemegang kemudi
negara ini bukan politisi yang bersetia pada cita-cita nasional, yang
pengabdiannya bukan pada tanah air dan rakyat, bisa diragukan bangsa ini
melangkah maju menuju cita-citanya.
Untuk itulah, anak muda harus terjun ke politik. Bukan
sekedar mewarnai, tetapi juga turut memegang kemudi negara ini, agar perjalanan
bangsa tetap di rel yang digariskan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Dalam sejarah, jalan menuju kekuasaan politik beraneka
ragam: dari yang tidak konstitusional (kudeta, insureksi/people power, dan
pemberontakan bersenjata) hingga cara-cara konstitusional (Pemilu). Dahulu,
para pejuang kemerdekaan memperjuangkan Indonesia merdeka dengan jalan
inskonstitusional di mata penjajah Belanda.
Namun, sejak runtuhnya Uni Soviet, seakan menjadi
konsensus bahwa jalan satu-satunya untuk peralihan kekuasaan adalah pemilu.
Banyak gerakan politik yang dulu meniti jalan di luar parlemen, bahkan yang
menempuh perjuangan bersenjata, beralih ke pemilu.
Bahkan, beberapa peralihan kekuasaan yang didahului oleh
insureksi, seperti di banyak negara amerika latin, ujung-ujungnya diikuti
dengan penyelenggaraan pemilu.
Kemudian lagi, dengan perkembangan masyarakat yang makin
kompleks, baik populasi maupun struktur sosialnya, yang beriringan dengan
perkembangan teknologi informasi, demokrasi berbasis perwakilan itu tidak
terelakkan.
Hanya saja memang, agar kualitas demokrasinya lebih kuat,
demokrasi keterwakilan ini perlu diperkuat dengan model-model demokrasi
langsung seperti plebisit dan referendum.
Tantangan demokrasi liberal
Tetapi kita juga berhadapan dengan batasan-batasan dalam
demokrasi liberal.
Pertama, pemilu
didesain hanya untuk memberi jalan bagi pemilik modal. Hampir semua urusan
pemilu, dari administrasi, kampanye, mobilisasi hingga pemilihan, semuanya
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Pemilu berbiaya mahal ini menjadi rintangan bagi pemuda
yang mengusung panji-panji perubahan untuk masuk ke dalamnya. Apalagi, dengan
kekuatan modalnya, kapitalis bisa membeli suara pemilih.
Kedua, partai
politik hanyalah kendaraan elektoral, bukan sebagai alat perjuangan. Partai
diciptakan hanya untuk kendaraan elektoral murni, sehingga tidak berkepentingan
dengan ideologi, kaderisasi, dan perjuangan gagasan. Tentu saja, partai yang
berorientasi elektoral, bukan sebagai alat perjuangan, menyulitkan kaum muda
yang membawa agenda perjuangan.
Lebih parah lagi, partai di alam demokrasi liberal ini
mengidap penyakit “personal party” alias partai personal. Istilah ini merujuk
pada ilmuwan Italia Norberto Bobbio, yang menggambarkan partai personal sebagai
partai yang didirikan oleh dan untuk satu orang. Dan tentu saja, Partai
personal menghalangi potensi kaum muda dan proses regenerasi kepemimpinan
politik.
Memanfaatkan peluang
Pilihan kita, kaum muda, cuma dua: mendirikan partai
sendiri atau masuk ke partai-partai yang ada.
Kalau mengambil jalan pertama, kita akan berhadapan
dengan syarat-syarat UU pemilu yang sangat berat dan berbiaya tinggi.
Namun demikian, jalan pertama ini bukan tidak mungkin.
Jumlah mereka yang disebut anak muda, dengan rentang usia 17-37 tahun, mencapai
84 juta orang atau 50 persen dari penduduk usia produktif (BPS, 2015). Tentu
saja, perlu gerakan politik baru yang kekinian, yang bisa menangkap aspirasi
dan selera politik anak muda itu.
Jalan kedua pun bukan tanpa rintangan. Ada banyak
rintangannya, mulai dari ruang yang terbatas, moderasi program, hingga jebakan
gaya politik formal/borjuis.
Agar tidak terjebak dalam rintangan itu, perlu untuk
memegang prinsip-prinsip berikut.
Pertama, aktivitas di dalam partai yang ada tetap
mengabdi pada proyek mendirikan kekuatan politik alternatif yang berjiwa
kekinian, progressif dan demokratis. Artinya, kerja-kerja elektoral mesti berkontribusi
pada penguatan organisasi rakyat sebagai basis kekuatan politik alternatif.
Karena itu, sekalipun bekerja di partai-partai
tradisional-mapan, kaum muda tetap menciptakan ruang kolaborasi dengan berbagai
organisasi rakyat, seperti serikat buruh, serikat petani, organisasi masyarakat
adat, organisasi pemuda dan mahasiswa, organisasi perempuan, dan sektor sosial
lainnya.
Kedua, tetap berusaha menjadikan edukasi
politik kepada rakyat sebagai bagian penting dalam strategi
memenangkan dukungan elektoral. Jadi sebisa mungkin, setiap aktivitas dalam
kerja-kerja elektoral bisa memberikan edukasi politik kepada masyarakat luas.
Ketiga, perlu menghadirkan praktek berpolitik yang
berbeda, yang memadukan arti penting gagasan sekaligus cara-cara baru yang
kreatif. Dalam hal ini, keunggulan anak muda dalam pengusaan teknologi
–informasi seharusnya mendorong lahirnya tradisi politik baru yang penuh
daya-kreasi dan daya-pencerahan.
Bagaskara Wicaksono, Kontributor Berdikari Online
Sumber Gambar: http://pedomanbengkulu.com
0 komentar:
Post a Comment