Saya tidak
sengaja melihat meme lewat di branda facebook akun media social milikku. Meme itu
berupa poster bertuliskan ‘Merdeka! Loh
Aja Kalli’ dengan latar gambar kumuh yang identik dengan kemiskinan. Jelas,
itu sebenarnya adalah bentuk sindiran dan protes secara tidak langsung atas
konteks yang berbanding terbalik dengan riuh perayaan Hari Kemerdekaan yang ke 73
tahun. seolah bahwa kemerdekaan telah dicapai sepenuhnya. Padahal cacat karena
tidak sesuai dengan kondisi materil—jutaan rakyat Indonesia masih berada di dalam
lingkaran jerit penderitaan.
Banyak yang
tidak sadar akan hal itu. Mungkin yang memposting gambar/poster adalah bagian
dari hanya segelintir orang yang sadar bahwa Indonesia belum sepenuhnya
Merdeka. Maka dari itu, saya yang termasuk orang belum merasakan Kemerdekaan
akan mencoba menguraikan pandangan terkait makna dan arti Kemerdekaan dengan
segala keterbasan wawasan. Namun jujur dari lubuk hati yang paling dalam.
***
Ya, sekarang
bangsa ini—bangsa Indonesia tengah merayakan Hari Kemerdekaan yang ke 73 tahun.
usia yang tidak belia lagi sebagai bangsa yang pernah berdarah-darah berjuang
melawan Kolonialisme Belanda. Hingga akhirnya Kemerdekaan di Proklamirkan 17
Agustus 1945 setelah Jepang menyerah tanpa syarat. Ditandai juga sebagai bagian
terpenting dalam Revolusi Nasional merebut kekuasaan Politik. Lalu apa arti kemerdekaan
sesungguhnya bagi Rakyat Indonesia?
Bung Karno
pernah mengatakan bahwa Kemerdekaan adalah kebebasan untuk merdeka. Artinya,
setiap bangsa merdeka harus punya kebebasan untuk menentukan politik
nasionalnya sendiri, untuk merumuskan konsepsi nasionalnya sendiri, tanpa
dirintangi atau dihalang-halangi oleh tekanan-tekanan atau campur tangan dari
luar.
Dengan jalan
itu, cita-cita Revolusi Nasional: mandiri secara politik, berdikari secara
ekonomi, dan berkepribadian kebangsaan dapat terwujud.
Atau lebih
sederhananya lagi adalah masyarakat yang hendak kita tuju adalah masyarakat
tanpa imperialisme dan kapitalisme. Manifesto Politik Indonesia, yang disusun
tahun 1959, dengan terang-benderang mengatakan, “hari depan Revolusi Indonesia
bukanlah menuju kapitalisme dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme, akan
tetapi menuju ke Sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi yang terdapat di
Indonesia, dengan Rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan
kebudayaan Rakyat Indonesia.”
Namun, dalam
waktu yang bersamaan ternyata kelompok kontra Revolusi melakukan taktik siasat
untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan menghianati cita-cita Revolusi
Nasional. Diawali dengan peristiwa berdarah 65 yang menumpas habis PKI dan PNI (Sayap Kiri) beserta
para simpatisannya.
Puncaknya,
saat kudeta merangkak yang dilakukan kelompok militer dibawah asuhan Soeharto terhadap
Soekarno dengan bantuan pihak luar. Atau dengan kata lain CIA.
Sejak saat
itu Indonesia berada di telunjuk Lembaga Donor. Kebijakan politik dan ekonomi
dibawah control modal asing. Sejak itu pula kebudayaan Indonesia menjadi asing
dengan kebijakan politik massa mengambang.
Maka jangan
heran jika karakter perayaan kemerdekaan tidak ada lagi pidato yang menggelegar
seperti yang pernah dilakukan Soekarno pada Hut Kemerdekaan pada awal-awal
Revolusi Nasional. Dihadiri oleh Jutaan seluruh lapisan massa rakyat. Buruh dan
Petani. Yang ada sekarang adalah peninaboboan, pensterilan, pemutihan,
pensimbolisasian, peminggiran, dan sebagainya.
Kita akan
menyaksikan sekarang ini perayaan kemerdekaan sebatas seremonial belaka: Panjat
pinang, lari karung, makan kerupuk dan semacamnya yang dalam sejarahnya, adalah
permain olok-olok terhadap pribumi rendahan pada masa kolonial. Tanpa ada upaya
untuk kembali menggali makna yang seutuhnya dan melanjutkan agenda Revolusi Nasional.
Selanjutnya,
kemerdekaan dalam sisi lain hanya dinikmati oleh segolongan elit saja—Mereka yang
punya posisi strategis dalam mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi.
Dampaknya,
kita diperhadapkan fakta bahwa berjuang terkadang hanya untuk hal-hal yang
justru menjadi hak dasar kita sebagai rakyat. Kita masih harus berteriak keras
hanya untuk makan, berdemonstrasi untuk upah kerja yang layak, berdebat dan
bahkan berkelahi untuk kesempatan bekerja dan mencari nafkah. Belum lagi
penggusuran terhadap kaum miskin kota dan perampasan lahan petani yang kian
gencar atas nama pembangunan. Pendidikan mahal dan pembukaman demokrasi seolah menjadi
angin pilu pasrah untuk berterima.
Sumber Gambar: http://chikaviiero.blogspot.com
Penulis: Syaharuddin Zaruk
(Mahasiswa Teknik Informatika di Universitas Negeri Makassar.
Anggota Front Mahasiswa Demokratik. Bercita-cita berhenti merokok dan berharap
suatu saat nanti memiliki istri yang mempunyai lesung pipi)
0 komentar:
Post a Comment