Yth, Kepala Pemerintah Desa Batetangnga
Muhammad Said, SH
Di Tempat
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Salam sejahtera kami haturkan kepada orang tua kami, Bapak Muhammad Said
yang terhormat, Kepala Desa Batetangnga, dimanapun bapak berada.
Diselah hiruk pikuk aktivitas kesibukan bapak, kami berharap
sudihlah bapak membaca tulisan surat terbuka ini. Kalaupun bapak tidak sempat
atau tidak dapat membacanya, kami berharap ada seseorang yang sudi membisikkan
kepada bapak.
Surat terbuka ini kami muat di media informasi Kerukunan
Keluarga Pelajar Mahasiswa Batetangnga, karena kami tahu bahwa diantara para
pembaca budiman adalah sebagian dari mata dan telinga bapak sendiri. Dan
terlebih penting agar seluruh masyarakat desa Batetangnga dapat membaca dengan
seksama.
Bapak Kepala Desa
yang terhormat,
Tanpa ada niat khusus dengan aroma politik dan/atau
sebagainya, apalagi menggurui. Tulisan ini hadir sifatnya kelembagaan, mempertanyakan
sebagai bentuk kritis dari anak-anak bapak—pelajar mahasiswa Batetangnga.
Bapak Kepala Desa
yang kami cintai,
Kami ingin mempertanyatakan secara mendalam dan tanpa hal
terlewat pun terkait adanya proses upaya pembebasan hutan lindung di desa
Batetangnga yang terintegrasi dengan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Namun,
sebelum masuk pada pertanyaan yang mungkin menohok tersebut, ada baiknya kami dan
anda terlebih dahulu menyamakan perpektif memandang TORA itu seperti apa dalam
pengertian nasional.
Kami dan Bapak tentu
tau bahwa TORA adalah program kebijakan Pemerintah bersama dengan Perhutanan
Sosial dalam upaya mewujudkan pemerataan ekonomi yang menitik beratkan pada
proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan
pemanfaatan lahan. Dengan program Reforma Agria tersebut, maka di alokasikanlah
kepemilikan lahan TORA dan pemberian legalitas akses Perhutanan Sosial kepada
masyarakat BAWAH/MISKIN.
Kami dan Bapak tentu tau bahwa Kementrian Lingkungan Hidup dan Hutan juga telah menargetkan
cakupan dan luas redistribusi tanah seluas 4,5 juta Hektare. Itu berasal dari
tanah pelepasan Kawasan hutan seluas 4,1 juta hectare, tanah dari hak guna
usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan tanah telantar 0,4 juta
Hektare. Kemudian Pemerintah telah menganggarkan Rp 826 Miliar untuk
penyelesaian TORA 2018 seluas 1,6 juta hectare sampai pada bulan Februari yang
lalu. Dan untuk target 2019 seluas 1,7 Hektare (KLHK, 2018).
Kami dan Bapak tentu tau bahwa dari hasil identifikasi peta arahan lokasi TORA, seluas lebih
kurang 3,7 juta Ha berada di Hutan Produksi baik itu Hutan Produksi Tetap (HP),
Hutan Produksi Terbatas (HPT), maupun Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
(HPK). Disamping itu terdapat seluas lebih kurang 454.190 Ha yang berada pada
areal Hutan Produksi yang dibebani izin Hutan Alam (HA), Hutan Tanaman Industri
(HTI), dan Restorasi Ekosistem (RE) (KPA, 2018).
Kami dan Bapak tentu tau bahwa tujuan dari TORA ada 6, diantaranya; pertama, untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan
tanah. Kedua, untuk menciptakan
sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agrarian. Ketiga, untuk menciptakan lapangan kerja
untuk mengurangi kemiskinan. Keempat,
untuk memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi. Kelima, untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Keenam, pemerintah juga berharap program
ini dapat memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup serta menangani dan
menyelesaikan konflik agrarian (Sumber: ekon.go.id).
Bapak Kepala Desa selaku
orang tua kami,
Tentu Bapak lebih tau
bahwa seluas 25 ribu hektar lahan milik masyarakat di Sulbar akan dikeluarkan
dari kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Dari 25 ribu hectare
tersebut, berada di 76 desa (termasuk desa Batetangnga) dari enam kabupaten
yang masuk dalam data target inver (Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan) PTKH
Sulbar. Sedangkan terkhusus untuk kabupaten Polewali Mandar seluas -+ 1100
Hektar.
Kami mungkin lebih
tau di banding Bapak, bahwa pada prosesnya, Program TORA banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan
pegiat lingkungan. Namanya kebijakan nasional tentunya akan bermunculan
persepsi pandangan atas pro kontra. Tentu dengan alasan mendasar dan di landasi
oleh penelitian dan kajian teori serta lapangan secara mendalam, sampai pada
upaya-upaya penolakan dalam bentuk praksis pun dilakukan.
Bapak Kepala Desa
yang taat Hukum,
Bapak mungking lebih
tau bahwa Peraturan Menteri LHK No.83/2016 menegaskan bahwa Perhutanan social
merupakan “sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan dalam Kawasan hutan
negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat
atau masyarakat hokum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika social budaya dalam
bentuk 1) Hutan Desa, 2) Hutan
Kemasyarakatan, 3) Hutan Tanaman Rakyat, 5) Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.”
Tapi dalam hal ini kita focus dalam Hutan
Desa sebagai obyek persoalan di desa Batetangnga.
Semoga Bapak tau penjelasan
bahwa pasal 5 paragraf 3 UU No.41/1999 tentang Kehutanan, menjelaskan bahwa
Hutan Desa adalah Hutan negara yang
berada di dalam wilayah desa, dimanfaatkan oleh desa (bukan kepala desa secara
peribadi) untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Pasal 1 angka 24 PP
6/2007 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, menjelaskan
bahwa Hutan Desa adalah huta negara yang belum di bebani izin atau hak yang di
kelolah oleh desa dan untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Bapak Kepala Desa
yang Budiman,
Kami tau bahwa Bapak telah
mengajukan berkas formulir pendaftaran TORA desa Batetangnga yang berisikan peta,
sketsa luas lahan, dan surat pengajuan penguasaan lahan pada bulan desember
2017, tahun lalu. Dan isi dari kesemuanya telah kami ketahui.
Kami tahu bahwa luas
lahan yang diajukan -+ 87,9 Hektar, lokasi Ratte
Maling (kami yakin bukan Cuma itu), 63 orang yang mengajukan dari 64 petak
lahan yang terajukan.
Selanjutnya kami akan melontarkan beberapa pertanyaan dan
semoga saja tidak menohok dan memonjokkan Bapak, sebab kami takut akan Murkha
dari orang tua kepada anak-anaknya.
Pertanyaannya:
1. Sesuai dengan intruksi BPKH Sulselbar adalah
keterbukaan dari pemerintah desa dalam mensosialisasikan TORA kepada seluruh
masyarakat tanpa terkecuali, kemudiaan melakukan pendataan serta mengumpulkan
bukti penguasaan tanah yang diajukan masyarakat, membuat batas, sketsa
penguasaan tanah, kemudian mengajukan permohonan ke Bupati secara kolektif. Pertanyaannya: Kenapa Bapak selaku Kepala
Desa Batetangnga dalam hal ini sebelum mengajukan berkas formulir TORA, anda
tidak melakukan sosialisasi terbuka kepada seluruh masyarakat Batetangnga ???
bahkan ketua adat, kelompok tani, dan beberapa masyarakat yang berada di
sekitas Kawasan hutan, tidak tau menahu sama sekali ???
2. Kita semua tau, bahwa TORA tersebut di
peruntuhkan bagi masyarakat miskin dan di utamakan untuk mereka yang bermukim dalam
areal Kawasan Hutan. Pertanyaannya: Mengapa dalam berkas formulir tersebut ada beberapa nama masyarakat yang justru sangat
jauh dari kategori miskin. Diantaranya, ada dari kalangan semi feudal (Punya banyak
tanah diamana-mana), pejabat tinggi di salah satu perguruan tinggi di
pare-pare, pengusaha, pegawai negeri sipil dan calon legislative 2019, bahkan Bapak sendiri selaku kepala desa beserta nyonya punya bagian di dalam ??? sejak
kapan Bapak dan nyonya punya tanah garapan di lokasi tersebut ??? bukankah anda
pernah mengeluarkan pernyataan (kami punya video dokumentasi pernyataan bapak)
di hadapan dinas kehutanan pada saat proses penyelesaian kasus illegal logging tahun lalu, bahwa di kawasan hutan tersebut Bapak tidak punya tanah garapan, lalu bak pesulap tiba-tiba Bapak mengklaim
punya tanah dalam surat pengajuan penguasaan lahan dalam berkas tersebut. Aneh bin
ajaib bukan? Ini sudah jelas tidak tepat sasaran!
3. Sesuai berkas yang diajukan bahwa 63 nama telah mengajukan, dan 64 petak lahan yang terajukan. Pertanyaannya: dari hasil investigasi kami; ada beberapa nama yang
mengajukan, justru sebelumnya tidak punya lahan yang terlanjur mereka garap di
areal tersebut. Sebaliknya ada sebagian masyarakat yang sudah 20 tahun terlanjur
menggarap lahan di areal tersebut, namanya justru tidak masuk dalam catatan berkas
pengajuan pengusaan lahan ???
5. Analisis dampak lingkungan, jika kawasan hutan
tersebut berhasil di TORA-kan, maka otomatis control pengelolaan atas lahan
akan di bebaskan sepenuhnya bagi pengelola dan kemungkinan terburuknya akan terjadi penebangan hutan secara besar-besaran. Padahal semua kita tau, dalam kawan
hutas tersebut adalah satu-satunya mata air yang mengaliri sawah-sawah masyarakat,
bukan hanya masyarakat Batetangnga, tapi juga masyarakat desa Rea dan Kecamatan Binuang pada umumnya???
6. Dari keempat point diatas, kapan bapak selaku pemerintah
desa akan melakukan tudang sepulung untuk memfasilitasi keresahan masyarakat
Batetangnga dalam mencari solusi ???
Demikian surat ini kami buat, harapan yang besar atas pertanyaan
diatas; Ayahanda kepala desa Batetangnga dapat menjawabnya demi kemaslahatan
seluruh masyarakat desa Batetangnga.
Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya jika isi surat ini
menyulut emosi yang terkait. Sebab itulah yang kami pelajari sebagai pelajar
mahasiswa ”selalu merawat nalar kritis untuk masyarakat yang lebih baik”.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Makassar, 4 oktober 2018
PENGURUS BESAR
KERUKUNAN KELUARGA
PELAJAR MAHASISWA BATETANGNGA
HORMAT KAMI
Ttd Ttd
M.Irfan Muhammad
Aslam
Ketua
Umum Sekretaris
Umum
0 komentar:
Post a Comment